Menteri Kominfo Dituntut Sampaikan Maaf Resmi atas Dampak Blokir PSE

Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) diminta menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada masyarakat yang terdampak tindakan pemblokiran 8 situs dan aplikasi, 30 Juli sampai 5 Agustus lalu.

Pernyataan dan permohonan maaf tersebut dipersyaratkan disampaikan melalui 5 media penyiaran nasional, 5 media cetak nasional, dan 10 media online.

Lebih dari itu, kembali, Menteri Kominfo didesak mencabut peraturan tentang penyelenggara sistem elektronik lingkup privat.

Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tersebut adalah yang digunakan sebagai dasar bagi serangkaian tindakan pemblokiran yang merugikan tersebut.

Seruan dan permintaan itu disampaikan Tim Advokasi Kebebasan Digital dalam surat keberatan yang ditujukan kepada Menteri Kominfo, Jumat 26 Agustus 2022.

Tim Advokasi Kebebasan Digital terdiri atas Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan Serikat Pekerja Media dan Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).

Adapun delapan stus dan aplikasi yang pernah diblokir Kominfo meliputi PayPal, Yahoo, Epic Games, Steam, Dota, Counter Strike, Xandr.com, dan Origin (EA).

Dari posko pengaduan yang dibuka sejak 30 Juli hingga 5 Agustus lalu, LBH Jakarta menerima sebanyak 213 pengaduan dari korban pemblokiran PSE tersebut, dengan estimasi kerugian materiil sebesar Rp.

1.779.840.000.

Kemudian, dari survei dan pendataan dampak Permenkominfo 5/2020 terhadap pekerja media dan kreatif yang dibuka SINDIKASI 4-14 Agustus lalu terkumpul 44 aduan dengan beragam jenis kerugian, untuk kerugian materil sebesar Rp.

136 juta.

Kerugian para pekerja media dan kreatif disebutkan bukan hanya kehilangan pendapatan atau materi tetapi juga immaterial.

“Di mana mereka tidak mendapat kepastian masa depan pekerjaan karena klien ragu dengan peraturan terkait aplikasi digital Indonesia dan khawatir keamanan data bocor,” ujar Ketua SINDIKASI Nur Aini.

Dia menambahkan, “Bagi warga dan pekerja media, implementasi Permenkominfo mengancam kebebasan pers terutama jurnalis yang meliput isu-isu sensitif,” Sementara, Posko Dampak Permenkominfo 5/2020 terhadap jurnalis dan media yang dibuka AJI dan LBH, 1-2 Agustus, terdapat 5 pengaduan yang masuk dengan beragam jenis kerugian materiil dan immateriil.

Tim Advokasi Kebebasan Digital menilai bahwa tindakan pemblokiran tersebut merupakan kebijakan yang membatasi hak atas akses internet sebagai bagian HAM.

Berdasarkan Joint Declaration on Freedom of Expression and the Internet 2011, Sekretaris Jenderal AJI Ika Ningtyas menambahkan, “Tindakan pemblokiran tersebut juga termasuk tindakan ekstrem yang setara dengan tindakan pembredelan terhadap kegiatan penyiaran maupun jurnalistik.” Sementara itu, pengacara publik LBH Jakarta M.

Fadhil Alfathan Nazwar menilai tindakan pemblokiran tersebut melampaui wewenang dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal yang dimaksua mengatur wewenang pembatasan yang dapat dilakukan oleh pemerintah hanya dapat dilakukan sebatas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.

“Tindakan pemblokiran itu bertentangan dengan ketentuan mengenai pembatasan terhadap HAM diizinkan (Permissible Limitations) dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB),” kata Fadhil.

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, juga menjelaskan seluruh tindakan yang berada dalam lingkup penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan Pasal 5 UU 30/2014 harus didasarkan pada asas legalitas, asas perlindungan terhadap hak asasi manusia; dan AUPB.

“Sehingga dengan demikian, tindakan pemblokiran oleh Menkominfo RI yang bertentangan dengan ketentuan mengenai pembatasan terhadap HAM diizinkan (Permissible Limitations), bertentangan dengan ketentuan Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU ITE, dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) tidak dapat dibenarkan menurut hukum,” kata Ade.

Tim Advokasi Digital juga menilai bahwa tindakan pemblokiran atas dasar Permenkominfo 5/2022 merupakan perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).

Itu seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *